Tuesday, April 13, 2010

PHRA SOMDEJ WAT RAKHANG KOSTITARARM

Somdet Toh — gelar resminya adalah Somdet Budhacariya (Toh Brahmaransi) — mungkin adalah bhiksu yang paling terkenal dan dicintai khalayak ramai pada abad ke-19 di Thailand. Seorang ahli meditasi yang sering berurusan dengan keluarga kerajaan, dia menjadi terkenal untuk berbagai alasan, tapi kepopulerannya itu berdasarkan pada dua hal: Meskipun gelarnya tinggi, dia sangat mudah ditemui oleh orang-orang dari semua kalangan masyarakat; dan dia membuat jimat yang digosipkan sangat kuat atau ampuh karena kekuatan dan keahlian meditasinya. Dia juga terkenal karena kebijaksanaan dan kecerdasannya. Sejak Somdet Toh meninggal di tahun 1872, sebuah kultus pemujaan telah tumbuh di sekitar waktu itu, dan banyak ahli spiritual di seluruh Thailand mengaku bisa memanggil jiwanya.

Di saat yang sama, banyak legenda juga bermunculan berdasarkan namanya. Di sini hanyalah beberapa dari cerita-cerita favorit saya. Saya tidak bisa memastikan apakah cerita ini akurat atau tidak, tapi mereka semua mengandung pelajaran yang baik, sehingga berharga untuk diceritakan dan diteruskan.

Somdet Toh adalah anak tidak sah dari seorang bangsawan yang kelak menjadi Raja Rama II. Ceritanya seperti ini: Suatu hari di tahun 1787 atau 1788, ketika sang bangsawan sedang berbenah setelah serangan bangsa Burma, dia secara tidak sengaja terpisah dari tentaranya. Ketika ia sedang menunggang kuda, ia sampai di sebuah rumah dengan seorang wanita berumur sekitar 16 tahun berdiri di serambi rumah. Merasa haus, sang bangsawan memintanya mengambilkan air. Wanita itu pergi ke sumur, lalu mengambil semangkuk air — di Thailand, di jaman dulu, mereka biasa minum air langsung dari mangkok — dan meremas sebuah bunga lotus di atas mangkuk, dan menaburkannya di permukaannya. Lalu dia menyerahkan mangkuk itu kepada sang bangsawan. Sang Bangsawan memandangi lama sekali kelopak-kelopak bunga lotus itu lalu minum dengan hati-hati sekali supaya tidak menelan kelopaknya. Setelah itu sambil menyerahkan mangkuk itu kembali kepadanya, ia bertanya, "Apa itu sejenis trik?"
"Bukan," jawab wanita itu. "Aku lihat Anda sangat kehausan hingga Anda mungkin langsung saja menenggak air itu lalu akan tersedak. Jadi saya pikir ini cara yang baik untuk memastikan Anda minum perlahan-lahan."

Bangsawan itu bertanya kepada-nya kemudian, "Apakah orangtuamu ada?" Dia lalu menjemput orang tuanya. Mereka tidak tahu siapa dia, tetapi jelas dia adalah seorang bangsawan, jadi ketika ia mengatakan pada mereka, "Aku ingin mengawini anak perempuanmu," dan orang tua gadis itu segera setuju. Gadis itu lalu bergabung dengan Raja di kamp pasukannya, tetapi ketika perang berakhir, bangsawan berkata kepadanya, "Aku takut aku tidak bisa membawamu ke istana bersamaku, tetapi jika kau punya anak dari hubungan denganku, bawalah tali pinggangku ini.

Berikan anak itu tali pinggang ini dan aku akan tahu bahwa dia adalah anakku. Aku akan merawatnya di masa depan." Jadi sang bangsawan meninggalkan wanita itu dan pulang ke Bangkok.

Seluruh keluarganya segera menyusul ke Bangkok ketika mengetahui bahwa wanita itu hamil. Mereka lalu pindah ke sebuah rumah terapung yang bersender di tepian sungai Chao Phraya di depan sebuah kuil bernama Wat In. Dia melahirkan seorang bayi laki-laki dan diberi nama Toh, yang artinya "besar". Ketika dia sudah cukup besar, dia ditahbiskan sebagai samanera. Beberapa tahun kemudian, ketika bangsawan tadi naik tahta menjadi Raja Rama II, keluarga itu membawa samanera Toh ke Wat Nibbanaram — sekarang namanya Wat Mahathaad, sebuah kuil tepat di seberang jalan dari Istana Utama — dan menunjukkan ikat pinggang tadi ke biksu kepala biara tadi.

Biksu kepala membawa ikat pinggang itu ke Raja dan segera sang Raja berkata, "Betul, itulah anakku." Dia lalu menjadi sponsor ordinasi Samanera Toh menjadi biksu.

Ketika Pangeran Mongkut (Remember Anna and the King?) — Rama IV — ditahbiskan menjadi biksu, Phra (julukan biksu) Toh adalah "kakak seniornya", yang memberikan latihan awal dalam Dhamma dan Vinaya. Segera setelah ditahbiskan, ayah pangeran Mongkut meninggal dunia, dan meskipun secara garis keturunan Pangeran Mongkut adalah penerus tahta berikutnya, tetapi dewan kerajaan memilih salah satu dari saudara-saudara tirinya menjadi Rama III.

Ketika ini terjadi, Phra Toh memutuskan akan lebih bijak untuk meninggalkan Bangkok, jadi dia pergi ke hutan. Pangeran Mongkut menetap sebagai biksu selama 28 tahun, sampai Rama III meninggal. Ketika dia ditawarkan untuk menduduki Tahta, Pangeran itu melepaskan jubah dan menjadi Raja Rama IV.

Segera setelah pemahkotaan, dia mengirimkan perintah untuk menjemput Phra Toh kembali ke Bangkok. Para pejabat pergi masuk hutan, membawa semua biksu yang bisa mereka temui, lalu bertanya, "Inikah biksunya?" "Bukan." "Inikah biksunya?" "Bukan". Sampai berita itu sampai ke telinga Phra Toh, dan dia keluar dari hutan dengan sukarela.
Raja memberikannya gelar Somdet — yang, setelah Supreme Patriarch, adalah gelar tertinggi yang bisa dipegang seorang biksu — dan mengangkatnya sebagai biksu kepala Wat Rakhang, sebuah biara di seberang sungai Istana.

Rama IV dikenang sebagai raja yang bijak dan sangat peduli pada rakyatnya. Somdet Toh secara pribadi memberi julukan kepada sang Raja — dalam sebuah puisi singkat dimana dia menulis sebuah rangkuman sejarah dan meramalkan masa depan dinasti Chakri (Bangkok) — adalah bahwa sang Raja mempertahankan atau menunjukkan sifat Dhamma. Keinginan Raja Rama IV untuk menempatkan Somdet Toh di dekat istana sudah merupakan tanda kebijaksanaannya. Beliau tahu bahwa, sebagai seorang Raja, dia akan kesulitan menemukan orang yang tidak kenal takut maupun yang tidak mementingkan diri sendiri untuk memberikan pendapat yang jujur ketika dia salah, jadi dia menginginkan mantan gurunya di dekatnya dalam

 

Tetapi bahkan sebagai mantan guru sang Raja, Somdet Toh harus melatih kebijaksanaan dan kemampuannya dalam mengkritik sang Raja.

Ada sebuah cerita bahwa suatu hari di awal pemerintahannya, sang Raja — dan ingat bahwa dia sudah menjadi biksu selama 28 tahun — sedang duduk-duduk di depan dermaga di depan Istana asyik minum-minum bersama para pejabat istananya. Jadi Somdet Toh datang dengan perahu kecil, mendayung menyebrangi sungai. Raja, merasa tidak senang, berkata kepadanya, "Aku sudah mengangkatmu jadi Somedet. Kenapa kau tidak hargai pangkatmu? Bagaimana mungkin kau mendayung sendiri perahumu?" Sang Somdet menjawab, "Ketika Raja negeri ini minum-minum di depan umum, Somdet manapun bisa mendayung perahu mereka sendiri." Ia lalu berbalik, dan mendayung ke arah biaranya. Itulah terakhir kalinya Raja minum (minuman keras) di muka umum.

Di lain kesempatan, Rama IV merasa bahwa sejak Thailand sudah diobrak-abrik oleh Burma, banyak adat istiadat Thai yang menghilang, jadi adat istiadat baru harus dikembangkan untuk menggantikan mereka. Jadi ia memutuskan, "Tidakkah ini ide yang bagus kalau kita membuat sebuah parade kapal-kapal setiap akhir masa vassa? Setiap biara di bangkok akan bertanggung jawab menghias sebuah perahu, dan kita akan mengadakan pertandingan/kontes perahu hias terindah." Jadi sebuah dekrit kerajaan dikeluarkan untuk setiap kuil di Bangkok untuk menghias perahu untuk parade ini.

Ketika hari parade tiba, jajaran perahu-perahu yang demikian indah dan berhias mengalir melewati tempat Raja melihat parade itu — kecuali sebuah kayak/kano kecil, membawa seekor monyek yang diikat dan sebuah papan pengumuman di punggungnya. Segera murka sang Raja naik: "Ada yang mempermainkan saya nih." Dia lalu segera memerintahkan pengawalnya mengecek asal-usul perahu itu, biara mana yang bertanggung jawab, dan segera jawabannya adalah Wat Rakhang, biara Somdet Toh.

Mereka mengambil papan pengumuman itu dari monyet itu untuk melihat apa tulisannya. Tertulis, "Berani kehilangan muka untuk menyelamatkan selembar kain," yang berima indah dalam bahasa Thai, tapi tetap maknanya sama sekali tak bisa dimengerti bahkan dalam bahasa aslinya.

Beberapa hari kemudian, sang Raja mengundang Somdet Toh datang ke Istana untuk makan dan berceramah, yang setelahnya ia bertanya, "Misalkan seseorang mensponsori sebuah perahu dengan sebuah papan seperti ini terikat di punggung seekor monyet. Menurutmu apa artinya?" dan sang Somdet berkata, "oh, itu artinya bahwa biksu-biksu yang tidak memiliki harta benda milik mereka sendiri untuk menghias perahu. Dan tentu saja tidak sepantasnya bagi mereka meminta sumbangan dari umat awam untuk menghias perahu, jadi satu-satunya jalan bagi mereka adalah menggadaikan jubah mereka. Jadi mereka rela kehilangan muka demi menyelamatkan jubah mereka."
Itulah terakhir kalinya parade serupa pernah diadakan.

Ada cerita lain juga mengenai sebuah acara pemakaman di Istana. Upacara pemakaman di istana bisa berlangsung terus selama 100 harian sebelum kremasi. Setiap malam mereka mengundang 4 orang biksu untuk membacakan sutta. Biksu-biksu yang terkenal, yang bergelar tinggi akan mulai duluan di awal 100 hari dan di akhir periode akan jatuh ke biksu-biksu junior. Satu malam menjelang akhir dari pemakaman ini, mereka mengundang empat orang biksu muda yang belum pernah sekalipun melihat Raja sebelumnya. Di zaman itu kalau Raja berkata, "Penggal kepala!" itu berarti benar-benar kepala dipenggal. Jadi mereka sangat gugup saat membacakan sutta. Bagaimanapun juga, sang Raja sudah jadi biksu selama 28 tahun, jadi dia pasti tahu kalau mereka salah melafal walaupun sedikit saja.

Akhirnya raja memasuki ruangan, diikuti para pengikutnya. Rama IV memiliki wajah yang tegas dan wibawa yang patut ditakuti, dan segera ketika para biksu tadi melihatnya mereka langsung melarikan diri dan sembunyi di balik tirai. Hal ini membuat sang Raja marah dan berkata "Apa-apaan ini? Apakah saya ini monster? Seekor Raksasa? Apa ini? Segera tanggalkan jubah mereka!" Jadi titah sang raja telah ditulis dan dikirim ke seberang sungai kepada Somdet Toh untuk penanggalan jubah dari beberapa biksu muda itu. Somdet Toh yang duduk di depan meja tulis tepatnya berada di samping altar kecil yang dimana adanya dupa kecil yang menyala. Melihat surat titah kerajaan itu lalu menaruhnya di atas dupa yang akhirnya mengakibatkan 3 lubang bekas terbakar oleh dupa. Surat itu dikirimkan kembali ke seberang sungai yaitu ke kerajaan.

Sang Raja tentu saja sudah pernah mempelajari doktrin buddhist, dan Sang Raja mengerti apa maksudnya 3 bekas lubang api itu : Api nafsu, Api Kemarahan, Api delusi/khayalan..serta pesan dari somdet ialah "keluarkan mereka." hingga akhirnya biksu-biksu muda itu tidak jadi ditanggalkan jubahnya. beginilah cara untuk mengkritik sang raja.

Suatu kali, bagaimanapun Somdet toh tidak selalu mulus dalam mengkritik Sang Raja...Ada suatu tradisi yang tertulis di Apadanas(?)..bahwa adanya kelompok pengikut Buddha yaitu kelompok Sakya, dimana para putra dan putri dari Raja yang bersangkutan harus meninggalkan negeri mereka dan bermukin di Kapilavastu, daerah ini dulunya sebagai tempat tinggal sang Budda. Setelah membangun kota dan sebagai tempat tinggalnya, bagi mereka yang mencari calon suami dan istri di daerah itu melihat bahwa tidak adanya darah bangsawan yang patut untuk dinikahi, jadi akhirnya abang menikahi adik perempuannya.

Nah itulah tradisi yang tertulis dalam Apadanas yang menjelaskan nama Sakya itu sebagai "kelompok milik sendiri"

Suatu hari, Somdet Toh membicarakan topik ini di kerajaan, setelah berdikusi akan hal ini, dia melanjutkan, "Sejak saat itu sudah menjadi tradisi bagi kaum bangsawan. Paman memacari kemenakan perempuannya, sepupu memacari sepupu..." Pada waktu itu, kebetulan Ratu dari Rama IV adalah kemenakannya sendiri, jadi Sang Raja menjadi marah.
"Kamu nggak boleh tinggal di negeri ini!" Kata Sang Raja. Jadi Somdet Toh diasingkan ke luar Thailand. Tapi pada waktu itu ada peraturan pemerintah mengenai kependudukan yang dimana kekuasaan negara tidak bisa mencakup daerah Sima(?), termasuk daerah di sekitar aula/ruangan pentahbisan. contohnya, jika ada maling yang lari masuk ke sima, para petugas keamanan harus mendapatkan izin dari kepala biara sebelum mereka masuk ke areal sima untuk mengejar maling itu. Jadi Somdet balik ke Wat Rakhang dan pindah masuk ke areal pentahbisan. Selama 3 bulan Somdet tidak menapakkan kaki di luar sima.

Sementara itu, sang raja lupa akan perintah pengasingan somdet, dan suau hari sang raja berkata, "udah lama Somdet Toh gak datang ngomong2, mari kita undang dia." Jadi undanganpun dikirimkan ke biara seberang sungai, tapi balasannya mengatakan "Saya tidak boleh menginjakkan kaki di negeri ini, ingat?" "Oh" Raja berkata, "Saya lupa." lalu sang raja mencabut perintah pengasingan diri sang Somdet.
Jadi bukanlah hal yang mudah untuk mengkritik raja-raja pada masa itu.

Bahkan jika Anda adalah guru pribadinya, Anda harus berhati-hati.
Tentu saja, tidak semua komentar Somdet Toh tentang raja itu kritis. Contohnya, rasa hormatnya terhadap sang raja-lah yang menginspirasikan Somdet untuk meninggalkan hutan untuk membantu Sang Raja.
berkata,

 

Pada waktu lain dan acara yang sama di kerajaan, Somdet Toh memulai pemberkatan penutup dengan gatha yang biasanya :
Yatha varivaha pura
Paripurenti sagaram
Evameva ito dinnam
Petanam upakappati...
Seperti sungai penuh dengan air memenuhi seluruh lautan,

Maka dari itu semuanya untuk kebaikan seluruh makhluk alam peta...
Pada saat Somdet sampai pada gatha ini, Sang Raja dengan tidak biasanya memutus etiket Buddhist dan berkata, "mengapa kamu memberikan semua jasa pahala-nya kepada makhluk alam peta? apa dasarnya mereka pantas menerima itu?"

Somdet Toh, tanpa kehilangan irama langsung membalikkan kembali gatha dan merubah baris terakhir:
Evameva ito dinnam
Sabbam rañño upakappati...

Maka dari itu semuanya diberikan untuk kebaikan Sang Raja...
Sang Raja yang fasih juga dalam bahasa Pali, merasa sangat gembira atas kemampuan Somdet untuk berpikir cepat.

Ada banyak lagi cerita Somdet Toh yang tidak berhubungan dengan Raja. Ajahn Fuang, guru saya, terutama suka untuk bercerita tentang kisah Somdet Toh menghadapi orang awam yang berkedudukan tinggi yang mengunjungi biara dan membuang waktu bikhu dalam percakapan yang tidak berguna.

Somdet Toh memakan makanannya di paviliun kecil tepat berada di depan tempat tinggalnya. Jika seekor anjing liar lewat, Somdet akan melempar sedikit makanan pada si anjing - sehingga akhirnya banyak sekali anjing2 sering datang dan duduk di sekitar-nya pada waktu jam makan-nya, untuk menanti makanan. Artinya jika ada orang awam yang berkedudukan tinggi ingin datang memberi penghormatan dan berdialog dengan-nya pada saat Somdet makan, mereka juga harus memberi hormat namaskara pada anjing-anjing itu juga. Alhasil, hanya orang2 tidak punya harga diri yang bernamaskara pada anjing demi ingin berdialog dengan Somdet pada waktu jam makan-nya.

Kisah lainnya adalah mengenai umat awam yang kaya raya yang bermaksud untuk mengundang Somdet Toh ke rumahnya untuk menerima persembahan makanan dan percakapan Dhamma. Acara seperti ini memang sudah biasa di masyarakat, dimana sang donor mengundang teman-temannya serta keluarganya untuk ikut berartisipasi dalam persembahan makanan dan untuk mendengar Dhamma. Jadi umat ini mengirimkan pelayannya untuk memberitakan undangan tersebut kepada Somdet Toh yang dimana dia ingin Somdet Toh membicarakan topik tingkat tinggi, yaitu empat kesunyataan mulia.

Tapi pada waktu itu si pelayan tidak begitu akrab dengan tema "empat kesunyataan mulia: - yang bahasa Thai-nya "Arisayat". Bagi si pelayan terdengar seperti "Naksat" atau Zodiak..Jadi dia mengatakan kepada Somdet Toh bahwa tuannya ingin mendengar Dhamma tentang zodiak. Sang somdet tahu bahwa hal ini pasti salah pengertian, tetapi kesalahan dari si pelayan ini menggelitik-nya, dan akhirnya Somdet memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini sebagai titik Dhamma - serta sekaligus bersenang-senang pada waktu yang sama.

Pada hari saat dialog Dhamma tiba, Somdet pergi ke rumah si umat, dan setelah makan Somdet Toh duduk di tempat duduk pengkotbah dan memulai dialog dengan mengatakan, "Hari ini tuan rumah kita yang terpandang telah mengundang saya untuk pembabaran Dhamma tentang zodiak." Lalu Somdet melanjutkan dengan menerangkan ke-12 zodiak secara terperinci.

Sementara itu, si majikan sudah mengarahkan pisau kepada si pelayan. Setelah selesai menerangkan tentang zodiak, lalu Somdet menambahkan, "Tapi, zodiak apapun seseorang itu dilahirkan, mereka juga adalah sebagai pribadi yang mengalami dukha." Dengan itu, Somdet telah memutar topik menjadi 4 kesunyataan mulia - yang hal ini mungkin menyelamatkan si pelayan.

Pada lain waktu, beberapa misioner kristen datang untuk mengunjungi Somdet. Salah satu dari strategi si misioner pada waktu itu adalah menunjukkan tingginya ilmu mereka akan pengetahuan untuk mempesona para penyembah berhala, memenangkan rasa hormat mereka, dan mungkin akan membuat orang2 untuk pindah agama. Dengan dekatnya Somdet Toh kepada Sang Raja, mungkin mereka berpikir bahwa bila mereka bisa membuat Somdet pindah agama, maka Raja-pun akan pindah agama. Jadi mereka para misioner itu mendiskusikan beberapa topik pengetahuan dengan Somdet yang akhirnya tiba pada fakta bahwa mereka bisa membuktikan bahwa bumi itu bulat. Kepada Somdet, tanpa rasa terkejut..berkata, "Saya tahu, dan bahkan saya bisa menunjukkan pada kalian di mana pusat bumi ini." Hal ini mengejutkan para misioner itu, jadi mereka meminta Somdet untuk menunjukkannya pada mereka. Somdet berdiri, mengambil tongkatnya, keluar dari gubuknya, dan menancapkan tongkatnya dengan kuat di tanah, serta berkata, "Di sini."
"Tapi bagaimana mungkin?" Mereka bertanya kepada Somdet.

Somdet menjawab, "Jika bumi itu bulat, berarti berbentuk seperti bola kan? dan setiap titik di permukaan bola itu dapat sebagai titik pusat dari titik lainnya pada permukaan."
Setelah itu para misioner-misioner meninggalkannya.

Pada hari terakhir dari Retreat musim hujan di tahun 1868, Raja Rama IV meninggal dunia. Anak sulungnya, Pangeran Chulalongkorn, yang mana sekarang sebagai Rama V baru saja berumur 15 tahun. Sebagai hasilnya, jalannya system pemerintahan diserahkan pada tangan seorang pengawas/bupati bernama Chao Phraya Sri Suriyawong (Chuang Bunnag) - yang dimana beliau memegang pemerintahan ini sampai Rama V beranjak dewasa. (Namun pada masa berikutnya, Hidup Rama V dikabarkan mengalami kegelisahan dan ketakutan akan pembunuhan terhadap dirinya).

Setelah ke-kabupatenan dilembagakan, Somdet Toh yang sudah berumur 80 tahun, muncul di istana sang bupati pada tengah hari yang cerah, sambil membawa obor yang menyala serta dipegang tinggi-tinggi dengan satu tangan, dan memegang Text Dhamma yang panjang yang tertulis pada daun palem yang sempit memanjang serta berposisi di belakang pada tangan yang satu lagi.

Setelah Somdet berjalan pada ruangan kerajaan dengan cara seperti itu, berita-pun sampai ke sang bupati. Bupati dengan hormat mendekati Somdet Toh dan mempersilahkan-nya untuk duduk, setelah itu Somdet meyakinkan bupati untuk mengerti pesan-pesan sang Somdet untuk calon Raja: Dia tidak akan mengizinkann semua keputusan yang diambil-nya dikuasai oleh kegelapan dari kekotoran, dan dia harus memegang teguh kepada Dhamma sebagai kemudi untuk mengendalikan kapal negara.
Empat tahun kemudian, Somdet Toh meninggal dunia.

Hati2 beberapa dari ini bentuk penipuan di Internet

0 comments: